KOLABORASI


Year: June 2019 - January 2020

Collaborators:
Ketemu Project, CoCreation Workshop, Uma Seminyak, Dr. Esther Joosa, Kabul and Loster, Sliz and Kelvin, Mary Bernadette Lee and Tamimi Pohan, Kolown and SPED students

Words by Tulika Ahuja



Now Is A Good Time was built on the idea of collaboration.

I got introduced to Sam (Samantha Tio “Mintio”), the co-founder of Ketemu Project through a few online exchanges in June 2019. She explained Ketemu Project’s socially-driven work and their efforts to include differently-abled people in the creative economy. In July 2019, I came on as a curatorial resident to research disability-led practices for making art. Starting in Bali with the Ketemu team’s support, led by Sam, I was tasked to activate differently-abled artist pairings from selected Southeast Asian countries to create movement towards a more conscious creative economy.

It was my first encounter with disability. Esme Wang’s The Collected Schizophrenias was a prelude to the questions I would project outwards to society and medicine, but navigating the language of disability meant confronting myself in so many ways.

Over many late night arak sessions with Kabul and early morning visits to Rumah Berdaya with him and his co-artist Loster, I developed exploratory ideas for the directions I could seek in my research. I was particularly interested in why art was the glue for collaborations between differently-abled people. Beyond its therapeutic and economic powers, what sort of conversations and discussions could art generate? At the same time, I was bogged down with more operational questions of how collaborations between the artist pairs would take place.

In one heated GoJek taxi conversation with Sam, we argued about what responsibilities a co-artist should carry in a collaborative partnership. Talking through opportunities, artistic intent and the practicalities of an artist career, my research opened up to more psychological grounds in relation to the physical and mental self.

With the superstar artists that agreed to come on board this project - Mary and Tamimi, Sliz, Kelvin and Hartini, koloWn, Michelle and the four SPED students, Kabul and Loster; my understanding of what it meant to be an artist grew. I saw these artists oscillate between non-artist roles - as facilitators, developers and social planners. The artists each had their own methods to reach the common goal of producing work with their co-artists.

What this work carries is depth in its collaboration - between humans of various abilities and differently-wired chemical compositions, as well as with time, physical materials, the natural and built environment, and circumstance.

I don’t see this exhibition as an end, although certain works come full circle. This project is a point in a journey that can go many different ways for us, all at the same time. Its nature of public presentation - in Seminyak, where people from all across the world wander - brings unpredictability and a chance for anyone to carry the baton forward. There is hope that the works offer permanence instead of transience.

(For Bahasa Indonesia, read below.)

Artists heading to the holy waters in Bali
Kelvin
Michelle Gabisan teaching a SPED class
Mary at 3 Brothers + 1 Gallery, Ubud
Sliz & Igor
Mary Bernadette and Tamimi Pohan


Now Is A Good Time dibangun dari ide kolaborasi.

Saya kenal Sam (Samantha Tio “Mintio”), salah satu pendiri Ketemu Project, melalui beberapa kali pertemuan secara daring di bulan Juni 2019. Sam menjelaskan program Ketemu Project yang tergerak secara sosial dan upayanya dalam melibatkan rekan-rekan difabel dalam ekonomi kreatif. Pada bulan Juli 2019, saya bergabung dalam program residensi kurator, untuk meneliti aktivitas berkesenian yang dilakukan teman-teman disabilitas. Diawali di Bali, dengan dukungan tim Ketemu Project yang dipimpin Sam, saya ditugaskan untuk menggerakkan pasangan-pasangan seniman difabel yang terpilih dari beberapa negara di Asia Tenggara, dalam rangka membuat suatu gerakan menuju ekonomi kreatif yang lebih sadar dengan isu-isu sekitar.

Ini adalah pertemuan pertama saya dengan disabilitas. The Collected Schizophrenias karya Esme Wang menjadi pertanyaan pembuka yang saya proyeksikan ke masyarakat dan obat-obatan, tetapi dengan turun tangan ke dalam bahasa disabilitas, berarti juga menghadapkan diri saya sendiri dengan berbagai situasi.

Setelah melewati banyak malam dengan sesi arak bersama Kabul dan kunjungan pagi-pagi ke Rumah Berdaya bersamanya dan Loster, saya mengembangkan ide-ide eksplorasi yang membantu mengarahkan penelitian saya. Saya secara spesifik tertarik tentang mengapa seni menjadi perekat untuk kolaborasi bersama orang-orang difabel. Terlebih dari kekuatan terapi dan ekonomi, percakapan dan diskusi apa saja yang bisa diciptakan seni? Di waktu yang sama, saya terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan operasional seputar bagaimana cara pasangan-pasangan seniman tersebut berkolaborasi.

Dalam suatu percakapan yang intens dengan Sam di dalam taksi GoJek, kami berdebat mengenai tanggung jawab apa yang harus dimiliki rekan seniman demi terbentuknya kerja sama yang kolaboratif. Berbicara melalui peluang, intensi artistik, dan aspek-aspek praktik seni dalam karir seorang seniman, penilitian saya lebih terbuka kepada basis psikologi dalam hubungannya dengan fisik dan mental seseorang.

Dengan seniman-seniman bintang yang tergabung dalam proyek ini – Mary dan Tamimi; Sliz, Kelvin, dan Hartini; koloWn, Michelle, dan 4 orang siswa SPED; Kabul dan Loster – pemahaman saya tentang arti menjadi seorang seniman berkembang. Saya melihat peran seniman-seniman ini mengambang antara peran non-seniman, seperti menjadi fasilitator, pengembang, dan perencana program-program sosial. Tiap seniman memiliki metodenya masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama dalam menciptakan karya dengan rekan senimannya.

Apa yang dibawa karya-karya ini terletak jauh di dalam kolaborasi itu sendiri – di antara manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan komposisi kimiawi yang tergabung dengan berbagai cara, juga dengan waktu, material fisik, lingkungan alami dan buatan, serta keadaan sekitar.

Saya tidak melihat pameran ini hanya berhenti di sini saja, walaupun beberapa karya telah membentuk satu lingkaran penuh. Proyek ini menjadi titik poin suatu perjalanan yang dapat mengarah ke mana saja di dalam waktu yang bersamaan. Itu adalah sifat alami dari suatu publikasi – di Seminyak, tempat di mana orang dari belahan dunia mana pun datang untuk berjalan-jalan – membawa ketidakpastian dan kesempatan bagi siapa saja untuk membawa tongkat estafet ini. Ada harapan agar karya-karya bersifat kekal, bukan fana.